Al-Qur`an dan Problematika Sosial

Al-Qur`an dan Problematika Sosial

Al-Qur`an dan Problematika Sosial
Rabu, 24 Februari 2016
Oleh: Dra. Mardliyah, M. SI.

Al-qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menuntun umat manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Al-qur`an sebagai wahyu juga mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial (zoon politicon).
Kalau dicermati, ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur masalah sosial lebih banyak dari pada ayat- ayat yang mengatur ibadah ritual, bahkan perbandiangannya adalah satu banding seratus, satu ayat berbicara masalah ibadah ritual sementara seratus ayat berbicara tentang masalah sosial. Hal ini bukan berarti bahwa ibadah sosial mengalahkan ibadah ritual. Akan tetapi, ibadah sosial adalah sebagai penyeimbang ibadah ritual agar manusia tidak individualistis dalam menjalani hidup.
Sebagaimana yang kita lihat, banyak fenomena mengajutkan dikalangan umat Islam yang berkali-kali pulang pergi ke makkah, entah itu berangkat Haji sampai dua, tiga kali yang sifatnya sunnah atau sekedar umrah. Sementara kehidupan sosial di sekelilingnya masih banyak yang membutuhkan uliran tangan darinya.  Masih banyak orang-orang miskin dan anak-anak terlantar yang justru harus lebih diperhatikan. 
Dalam al-Qur’an dijelaskan, jin dan manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Semua Rasul diutus Allah untuk mengajak manusia beribadah kepada-Nya. Islam memandang seluruh hidup kita haruslah merupakan ibadah kepada Allah. Dalam pengertian ini, ibadah didefinisikan oleh Ibnu Taimiyah sebagai “Sebuah kata yang menyeluruh, meliputi segala yang dicintai dan diridhai Allah, menyangkut segala yang tampak maupun yang tidak tampak”.  Jadi, ibadah bukan saja berdzikir, shalat dan puasa, akan tetapi juga menolong orang yang teraniaya, melepaskan dahaga yang kehausan serta memberikan pakaian kepada orang yang telanjang.
Dalam hal ini, pengertian ibadah adalah sama dengan pengertian syari’at Islam yaitu: pertama,  ibadah yang berupa upacara-upacara tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah (hubungan vertikal atau ibadah mahdlah), seperti shalat, puasa dan dzikir. Kedua, ibadah yang mencakup hubungan antar sesama manusia (hubungan horizontal atau ibadah ghairu mahdlah) dalam rangka mengabdi kepada Allah.
Antara Ibadah ritual dan Ibadah sosial.
Tanpa mengesampingkan ibadah mahdlah, Islam adalah agama yang menekankan pentingnya urusan-urusan sosial. Bahkan Islam menjadikan seluruh bumi ini sebagai masjid, tempat manisa untuk beribadah kepada Allah, baik melalui ibadah ritual maupun sosial. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana al-Qur`an dan Hadits lebih banyak membincangkan ikwal ibadah sosial dibanding ibadah ritual.
Pertama, dalam al-Qur’an ataupun kitab-kitab Hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam tersebut banyak membicarakan tentang masalah sosial. Menurut Ayatullah Khomaini, dalam al-Hukumah al-Islamiyah, perbandingan antara ayat-ayat ibadah ritual dengan ayat-ayat sosial adalah satu berbanding seratus, satu ayat berbicara masalah ibadah ritual dan seratus ayat berbicara masalah sosial. Sebagai contoh adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mu’minun (23 : 1–9): Orang beriman  ialah orang yang khusyu’ dalam shalatnya (ibadah ritual), menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfa’at (ibadah sosial) menjaga amanat dan janjinya (ibadah sosial) dan memelihara shalatnya (ibadah ritual). Dari sekian tanda orang yang beriman, hanya dua yang menyangkut ibadah ritual yakni shalat dan zakat.
Selain itu, terdapat ayat lain pula yang menjelaskan tentang tanda-tanda orang yang takwa dalam surat  Ali Imran (3 :133–135) : “infaq dalam suka dan duka (ibadah sosial), menahan amarah (ibadah sosial), memafkan  manusia (ibadah sosial), berbuat baik (ibadah ritual dan sosial), dzikir (ibadah ritual), bila berbuat dosa, menganiaya atau menganiaya  dirinya sendiri ( ibadah ritual dan sosial) serta meminta maaf atas dosa-dosanya(ibadah ritual)”.
Akan tetapi, dewasa ini umat islam perlahan justru mengesampingkan ibadah sosial yang sejatinya perlu untuk dilakukan. Kadang-kadang perbedaan kecil dalam urusan ibadah dibesar-besarkan, sehingga mempertajam perpecahan umat Islam. Akibatnya, seperti dikatakan Syaikh al-Ghazali dan Sayyid Quthb, kita bertengkar dalam urusan ibadah, sementara satu demi satu bidang kehidupan diambil oleh musuh-musuh Islam.
Kedua, alasan lain lebih ditekankannya ibadah sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. Berkata : “Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisnya bayi, aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya atas tangisannya itu”.
Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu, shalat jama’ah lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dilakukan sendirian sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Hadits Bukhari dan Muslim.
Keempat, bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu, maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan, maka fidyah makanan bagi orang miskin harus dibayarkan. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan ramadhan tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin. Dalam Hadits Qudsi, salah satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah menyantuni orang-orang yang lemah, menyayangi orang miskin, anak yatim, janda dan yang mendapat musibah.
Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadah tidak dapat menutupnya.Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan shalat tahajjud. Yang berbuat dzalim  tidak dapat menghapus dosanya dengan membaca dzikir seribu kali. Bahkan, dikatakan bahwa ibadah ritual tidak diterima oleh Allah, bila pelakunya melanggar norma-norma muamalah. ”Dikatakan kepada Rasulullah saw. bahwa seorang perempuan puasa siang hari, dan berdiri shalat di malam hari, tetapi ia menyakiti tetangganya. Rasulullah menjawab : ”Perempuan tersebut masuk neraka”.
Di sini tampak jelas betapa shalat dan puasa menjadi tidak akan berarti karena si pelakunya merusak hubungan baik dengan tetangganya. Dalam hadits yang lain, orang-orang yang tidak baik dengan tetangganya, yang memutuskan silaturrahim, yang merampas hak orang lain, bukan saja ibadahnya tidak diterima, bahkan tidak lagi termasuk orang beriman. Nabi bersabda : “Tidak beriman kepadaku orang-orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan”dan Hadits lain menerangkan, “Tidak masuk surga yang memutuskan silaturrahim”
Dalam al-Qur’an, orang-orang yang shalat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, riya’ dalam amal, dan tidak mau memberikan pertolongan. Dalam hadits lain diriwayatkan tentang orang muflis (bangkrut) pada hari kiyamat, yang kehilangan seluruh ganjaran shalat, puasa dan hajinya, karena merampas hak orang lain, menuduh yang tidak bersalah, atau menyakiti hamba Allah.
Kelima, melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebagai berikut ini: “Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah dan seperti orang yang terus- menerus shalat malam dan terus-menerus puasa”.
Dari paparan  di atas menunjukkan bahwa ibadah sosial menempati posisi yang sangat penting yang tidak bisa diabaikan. Maka, langkah yang paling baik adalah menempatkannya secara proporsional.

Referensi
Al-qur’an al-Karim
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Jalil ,193, 2 : 391)
Al-Hakim, al-Mustadrak, dalam Maktabah Syamilah
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dalam Maktabah Syamilah.
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung, Mizan: 1986.

 
BIODATA PENULIS
MARDLIYAH, tinggal di Desa Pasucen Rt: 04/02  Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati.
Pada tanggal 29 Januari tahun 1993 menikah dengan Zumrodi dan dikaruniai tiga anak yaitu: Fiki Amalia Husna (lahir  tanggal 31 Desember tahun 1993) sekarang kuliah di UNNES  , Nadya Itsnal Muna (lahir tanggal 1 Oktober tahun 1996) sekarang duduk di kelas SMA Negeri 1 Pati kelas XII dan Muhammad Robith Faizi (lahir tanggal 2 Maret 2002) sekarang duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyah.
Jenjang pendidikan formal diawali dari SDN Tlogoharum, Kec. Wedarijaksa, Kab. Pati, tamat tahun 1977,  MTs Raudlatul Ulum Pati, tamat tahun 1983. Kemudian melanjutkan pendidikan di MA Raudlatul Ulum Pati, tamat tahun 1986. Pada tahun yang sama masuk ke Perguruan Tinggi Negeri IAIN Walisongo Semarang  pada Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI, lulus tahun 1991. Atas berkat rahmat Allah SWT dan motivasi belajar yang tinggi, pada bulan Juli 2008  melalui seleksi Administrasi dan karya ilmiah, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi dengan beasiswa penuh dari Ditjen Mapenda Depag Pusat pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang Konsentrasi Pendidikan Islam, lulus tahun 2010.  .
Karir sebagai guru, dimulai dari tenaga honorer di SMA Muhammdiyah 01 Pati (1991-2000). Kemudian pada tanggal 01 Maret 2000 diangkat sebagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Departemen Agama dan ditugaskan sebagai guru PAI (DPK) pada SDN 1 Kertomulyo. Tahun 2003 diminta oleh SDN Guyangan, akhirnya mengajar di sana dua tahun. Tahun 2005 diminta oleh SMK Negeri 3 Pati, akhirnya DPK di sekolah tersebut pada tanggal 26 Juni 2005 hingga sekarang.

Al-Qur`an dan Problematika Sosial
4/ 5
Oleh
Load comments