Hakim Dunia Akhirat
Ibarat
pertunjukan wayang, Hakim adalah ksatria
yang berperan sebagai pembela kebenaran dan penegak keadilan. Dalam teologi
keagamaan, Hakim adalah sebagai wakil
Tuhan di bumi. Apa yang menjadi keputusan Hakim adalah final. Keputusan
Hakim yang gegabah, akan berakibat fatal
terhadap roses hukum selanjutnya. Maka dari itu, tidak semua orang bisa menjadi
Hakim. Selain independen, Hakim juga harus mempunyai profesionalitas tinggi
untuk memutuskan suatu perkara hukum.
Di Indonesia,
Hakim disebut sebagai pejabat negara setingkat dengan Eksekutif dan Yudikatif. Sebagaimana yang termuat dalam
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Hakim, Undang-undang Nomor
43 Tahun 2009 tentang pokok-pokok kepegawaian dan PP Nomor 54 Tahun 2010
tentang pemberian gaji atau pensiun atau
tunjangan bulan tiga kelas. Dengan
demikian, bisa dikatakan posisi jabatan sebagai Hakim adalah sama halnya dengan pejabat negara.
Dengan posisi Hakim
yang tergolong istimewa tersebut, patut bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak
konstitusionalnya yang antara lain adalah mengenai gaji atau pensiun atau
tunjangan bulan tiga kelas sebagaimana UU No. 54 Tahun 2010 diatas. Namun yang
dirasakan para Hakim saat ini justru malah sebaliknya. Banyak Hakim yang
mengeluh lantaran gajinya tidak sepadan dengan profesionalitas mereka dalam
menegakkan hukum. Bahkan gaji Hakim
lebih rendah dari pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang setiap tahun
naik.
Jika dikalkulasikan,
besaran gaji pokok Hakim saat ini sesuai
dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2008 yaitu golongan III/a
senilai Rp.1.976.000,- dalam masa kerja 0 tahun dan golongan tertinggi IV/e
masa kerja 32 tahun mendapat Rp. 4.978.000. Hingga sekarang gaji pokok Hakim
masih tetap sama dan belum ada kenaikan. Begitu juga dengan tunjangan
Hakim yang sudah sebelas tahun tidak
dinaikkan. Dalam hal ini, tunjangan jabatan Hakim juga diatur dalam Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 89 Tahun 2001.
Karena tidak
adanya kenaikan gaji pokok dan tunjangan Hakim
inilah yang menjadi sebab mengapa para Hakim yang terkumpul dalam Gerakan Progresif Hakim
Indonesia, akan mogok sidang jika tuntutannya tersebut tidak direalisasikan.
Permasalahan ini sebenarnya adalah peroalan internal para Hakim sendiri. Namun
menjadi eksternal dan terbuka ketika ara Hakim akanmelakukan mogok sidang jika
pertimnatannya tidak direalisasikan oleh pemerintah.
Gaji Rendah,
Rawan Suap
Pergolakan para
Hakim tersebut sedikit banyak telah membuka
mata kita untuk mengetahui lebih jauh bahwa di Indonesia, perselingkuhan hukum,
politik, pengusaha dan uang hampir tidak bisa dielakkan. Bahkan hukum hapir
tidak ada bedanya dengan politik, hanya perananya saja yang berbeda.
Permasalahannya bukan hanya pada gaji Hakim, tetapi juga proses hukum yang akan
sangat rawan dengan suap jika gaji Hakim
rendah.
Tulisan ini bukan
kampanye agar gaji Hakim dinaikkan, akan tetapi lebih sebagai refleksi
banyaknya kasus terpidana korupsi yang bisa bermain-main dengan hukum lantaran
kuasa uang. Tidak hanya itu, bahkan dengan uang hukum bisa dibeli berapapun
harganya. Realitas ini yang kemudian membuat kita berpikir ulang mengenai
posisi Hakim dalam menyelesaikan suatau permasalah hukum. Jual beli hukum yang
semakin menjamur di Indonesia, tentunya
merupakan permasalahan besar yang patut diselesaikan.
Kita sebut saja
berbagai koruptor yang bebas keluar masuk tahanan karena bisa membeli hukum.
Atau bahkan tidak tersangkut hukum sama sekali lantaran Hakim sudah dibeli si koruptor tersebut. Disinilah
sebenarnya pertaruhan independensi Hakim. Ketika Hakim sudah goyah dengan iming-iming uang atau
kekuasaan, independensi akan runtuh dengan sendirinya. Jadi, yang perlu
dibenahi saat ini adalah bukan hanya soal gaji Hakim yang tak kunjung naik, tetapi juga bagaimana
pelaksanaan hukum yang baik dan profesional tanpa ada tunggangan politik uang.
Apa yang
dilakukan oleh para Hakim tersebut
meruakan langkah benar, yaitu untuk meminta hak-hak konstitusiaonalnya
sebagaimana yang sudah diatur dalam undang-undang diatas. Hakim berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang
sepadan atau bahkan lebih tinggi dari pada gaji PNS. Profesionalitas mereka
dalam mengawal berjalannya hukum di Indonesia sudah terlihat jelas.
Dunia-akhirat
Satu yang patut
dipertanyakan kembali adalah aksi mogok sidang
oleh Hakim jika pemerintah tidak
segera memenuhi permintaan para Hakim
tersebut. Tentunya aksi mogok tersebut tidak relevan. Sebab, profesi
Hakim adalah sebagai wakil Tuhan yang seyogyanya sedia melayani proses hukum di
Indonesia. Secara sepihak, akan muncul banyak tafsir miring mengenai mogok sidang
Hakim tersebut.
Dalam hal ini,
sebagian besar masyarakat tentunya mendukung usulan para Hakim agar mendapatkan hak-hak konstitusionalnya
sebagai pejabat negara. Akan tetapi, aksi mogok memiliki implikasi dan
komlikasi persoalan yang jauh lebih serius. Masyarakat akan mempertanyakan
kembali niat mereka dalam menerima panggilan tugas sebagai Hakim. sebagai orang
yang akan mempertangungjawabkan semua keputusan yang diambilnya, hanya kepada
Tuhan.
Parlemen dan
pemerintah sama-sama punya andil kesalahan yang menjadikan perlakukan kepada
Hakim sebagai pejabat negara terabaikan. Apa yang dilakukan oleh para
Hakim ini tentunya menjadi momentum
perubahan agar pemerintah juga sama-sama memikirkan nasib para Hakim sebagai pejabat negara. Pada intinya,
dalam upaya mengawal negara Indonesia menjadi lebih baik, kerjasama antara
pihak pemerintah beserta elemen-elemennya dan masyarakat adalah menjadi kuci
utamanya. [Nur Kholis Anwar]