Hakim Dunia Akhirat
Di Indonesia, Hakim disebut sebagai pejabat negara setingkat dengan Eksekutif dan Yudikatif. Sebagaimana yang termuat dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Hakim, Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang pokok-pokok kepegawaian dan PP Nomor 54 Tahun 2010 tentang pemberian gaji atau pensiun atau tunjangan bulan tiga kelas. Dengan demikian, bisa dikatakan posisi jabatan sebagai Hakim adalah sama halnya dengan pejabat negara.
Jika dikalkulasikan, besaran gaji pokok Hakim saat ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2008 yaitu golongan III/a senilai Rp.1.976.000,- dalam masa kerja 0 tahun dan golongan tertinggi IV/e masa kerja 32 tahun mendapat Rp. 4.978.000. Hingga sekarang gaji pokok Hakim masih tetap sama dan belum ada kenaikan. Begitu juga dengan tunjangan Hakim yang sudah sebelas tahun tidak dinaikkan. Dalam hal ini, tunjangan jabatan Hakim juga diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89 Tahun 2001.
Gaji Rendah, Rawan Suap
Tulisan ini bukan kampanye agar gaji Hakim dinaikkan, akan tetapi lebih sebagai refleksi banyaknya kasus terpidana korupsi yang bisa bermain-main dengan hukum lantaran kuasa uang. Tidak hanya itu, bahkan dengan uang hukum bisa dibeli berapapun harganya. Realitas ini yang kemudian membuat kita berpikir ulang mengenai posisi Hakim dalam menyelesaikan suatau permasalah hukum. Jual beli hukum yang semakin menjamur di Indonesia, tentunya merupakan permasalahan besar yang patut diselesaikan.
Kita sebut saja berbagai koruptor yang bebas keluar masuk tahanan karena bisa membeli hukum. Atau bahkan tidak tersangkut hukum sama sekali lantaran Hakim sudah dibeli si koruptor tersebut. Disinilah sebenarnya pertaruhan independensi Hakim. Ketika Hakim sudah goyah dengan iming-iming uang atau kekuasaan, independensi akan runtuh dengan sendirinya. Jadi, yang perlu dibenahi saat ini adalah bukan hanya soal gaji Hakim yang tak kunjung naik, tetapi juga bagaimana pelaksanaan hukum yang baik dan profesional tanpa ada tunggangan politik uang.
Apa yang dilakukan oleh para Hakim tersebut meruakan langkah benar, yaitu untuk meminta hak-hak konstitusiaonalnya sebagaimana yang sudah diatur dalam undang-undang diatas. Hakim berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sepadan atau bahkan lebih tinggi dari pada gaji PNS. Profesionalitas mereka dalam mengawal berjalannya hukum di Indonesia sudah terlihat jelas.
Dunia-akhirat
Satu yang patut dipertanyakan kembali adalah aksi mogok sidang oleh Hakim jika pemerintah tidak segera memenuhi permintaan para Hakim tersebut. Tentunya aksi mogok tersebut tidak relevan. Sebab, profesi Hakim adalah sebagai wakil Tuhan yang seyogyanya sedia melayani proses hukum di Indonesia. Secara sepihak, akan muncul banyak tafsir miring mengenai mogok sidang Hakim tersebut.
Dalam hal ini, sebagian besar masyarakat tentunya mendukung usulan para Hakim agar mendapatkan hak-hak konstitusionalnya sebagai pejabat negara. Akan tetapi, aksi mogok memiliki implikasi dan komlikasi persoalan yang jauh lebih serius. Masyarakat akan mempertanyakan kembali niat mereka dalam menerima panggilan tugas sebagai Hakim. sebagai orang yang akan mempertangungjawabkan semua keputusan yang diambilnya, hanya kepada Tuhan.
Parlemen dan pemerintah sama-sama punya andil kesalahan yang menjadikan perlakukan kepada Hakim sebagai pejabat negara terabaikan. Apa yang dilakukan oleh para Hakim ini tentunya menjadi momentum perubahan agar pemerintah juga sama-sama memikirkan nasib para Hakim sebagai pejabat negara. Pada intinya, dalam upaya mengawal negara Indonesia menjadi lebih baik, kerjasama antara pihak pemerintah beserta elemen-elemennya dan masyarakat adalah menjadi kuci utamanya. [Nur Kholis Anwar]