Imlek: Memupuk Solidaritas Kemanusiaan
![]() |
Sumber: szaktudas.com |
Tidak bisa kita bantahkan lagi bahwa memperkuat sikap toleransi
dan solidaritas lintas agama di era yang semakin global ini perlu dipertegas
kembali secara nyata. suatu pola varian keagamaan, budaya, etnik dan suku
dengan ritual yang berbeda-beda mampu dengan mudah ditumbuh kembangkan dibawah
satu bendera kebangsaan. Dalam kondisi yang demikian plural seperti sekarang
ini, tentunya kepercayaan dan kerukunan menjadi ujung tombak dari tegaknya
keberagaman etnis, budaya dan agam tersebut.
Tahun baru Imlek yang diperingati pada 8 Fabruari 2016 ini
merupakan momen besar untuk memperkokoh kerukunan dan solidaritas universal.
Hal ini untuk Menjawab semangat zaman yang semakin tergerus oleh arus global. Tidak lain adalah agama yang
selalu menjadi benteng utama untuk memperkuat diri dari kepungan arus tersebut.
Seperti halnya Imlek yang merpakan hari raya keagamaan untuk memperingati nabi
Konfusius, adalah sebagai salah satu pintu dari berbagai pintu yang bias
dimanfaatkan untuk membentengi keberagaman kita.
Tahun baru Imlek juga sering disebut dengan Kung Sang Guru. Tapi bagi warga
Tionghoa yang memeluk agama lain, Imleka dalah peringatan hari cultural cina.
Jauh hari sebelum perayaan tahun baru Imlek, tidak hanya di Cina, di Indonesia
pun sudah sibuk menyiapkan berbagai pernik untuk menghiasi rumah, kantor dan
rumah makan untuk menyambut tahun besar itu. tentunya ini tidak lepas dari
keturunan warga Tionghoa Cina yang berdomisili di Indonesia. Dulu dan mungkin
hingga sekarang, warga Tionghoa Pada umumnya adalah pelaku bisnis yang tersebar
di seantereo nusantara. Namun sejak terpilihnya KH Abdurrahman Wahid menjadi
presiden, warga Tionghoa juga sudah bias andil dalam partisipasi politik di
Indonesia.
Bisa dikatakan pada Era-nya Gus Dur, warga Tionghoa menemukan
posisinya di Indonesia. Pintu-pintu untuk merayakan tahun baru Imlek juga mulai
dibuka selebar-lebarnya. Pada masa inilah warga Tionghoa lebih dihargai dari
pada tahun –tahun sebelumnya di Indonesia. Hal itu sekaligus juga mengawali
terbukanya pluralisme yang lama diperjuangkan oleh KH Abdurrahman wahid. Upaya
Gus Dur tidak lain adalah ingin membentuk kerukunan antar umat beragama dan
membangun nasionalisme demi kokohnya Negara Kesatuan Republic Indonesia.
Dalam hal ini, Gus Dur adalah orang yang pertama mencabut Intruksi
Presiden (Inpres) No 14/1967. Inpres yang dikeluarkan oleh Soeharto
ketika awal berkuasa pada Tahun 1967 itu melarang kaum
Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di
lingkungan keluarga.
Karena Inpres tersebut, selama masa Orde Baru, aktifitas kaum Tionghoa
seolah-olah dibatasi, tidak hanya dalam merayakan pesta agama tetapi juga
partisipasi politik kelompok ini ditekan selama pemerintah Soeharto. dengan
tegas, Gus Dur juga mengatakan, kalau yang lain bisa pergi kemasjid, Gereja,
atau ke makam-makam ziarah, kenapa orang Tionghoa tidak boleh ke Kelenteng.
Robertson Smith mengatakan bahwa salah satu fungsi social upacara
atau peringatan keagamaan adalah mengintensifkan solidaritas masyarakat. Dalam
suatu perayaan emosi umat beragama dibawa dalam penegasan suatu identitas dan
kelompok, ikatan agama dan
peradaban akan bertahan lama. Demikian karena dalam setiap peringatan, semangat
dan emosi itu dibangkitkna kembali.
Ritual disatu sisi sebagai intensifitas solidaritas masyarakat,
menjadi pintu untuk menciptakan kerukunan secara universal. Kerukunan tidak
hanya untuk sesama pemeluk agama yang satu, akan tetapi sifatnya lebih umum dan
tidak mengikat. Semangat agama yang berkobar dan dilandasi atas dasar
solidaritas yang kuat inilah yang akan membimbing kerukunan antara umat
beragama di Indonesia.
Memupuk Kerukunan
Atas nama semangat agama yang hidup dibawah naungan berbagai macam
agama di Indonesia, kerukunan
justru menjadi tema besar yang banyak di dialogkan oleh berbagai tokoh agama.
Sebab dengan kerukuan, persatuan dan kesatuan serta nasionalisme akan terbentuk
dengan baik. Bahkan dengan
bangga kita akan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih indah dan bermartabat
dari pada saling rukun diantara satu dengan yang lainnya. Dari kerukunan inilah
maka akan muncul persaudaraan.
Prinsip persaudaraan inilah yang akan menjadi modal utama dalam
menjalin kerukunan antara umat beragama. Pada hakikatnya pesan persaudaraan
universal sudah dapat ditemukan dalam setiap agama. Dalam tradisi Konghucu,
persaudaraan harus diwujudkan umat Konghucu dan masyarakat cina sebagai pandangan
hidup untuk menghargai sesamanya. dengan demikian, kesejukan ajaran agama
sangat dinantikan untuk mengikat kembali jalinan kemanusiaan kita yang sudah
mulai pudar. Perbaikan sikap, jiwa dan hati merupakan kunci dalam membangun
bangsa yang lebih cerah.
Sudah selayaknya kita merenugkan kembali kata-kata dari Kung
Sang Guru “jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak. Jika
ada keindahan dalam watak, akan ada keserasian dalam rumah tangga. Jika ada
keserasian dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa. Jika ada
ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia”. Renungan dari Kung Sang
Guru di atas cukup menjadi bahan refleksi bagi kita tentang pentingnya
kebenaran, keserasian, ketertiban dan perdamaian.
Maka dari itu, pada momen tahun baru Imlek ini jangan hanya kita
manfaatkan sebagai ajang pawai atau seremonial semata. Tahun baru Imlek akan
menjadi beku ketika kita hanya memanfaatkannya sebagai ajang untuk unjuk diri
atau pamer dan bermewah-mewahan. Akan tetapi juga sebaliknya, Imlek akan lebih
bermakna manakala kita mampu memanfaatkan momentum ini untuk memupuk rasa
kemanusiaan dan solidaritas yang tinggi. [Oleh: Nur Kholis Anwar]