Imlek: Memupuk Solidaritas Kemanusiaan

Imlek: Memupuk Solidaritas Kemanusiaan

Imlek: Memupuk Solidaritas Kemanusiaan
Sabtu, 06 Februari 2016
Sumber: szaktudas.com
Tidak bisa kita bantahkan lagi bahwa memperkuat sikap toleransi dan solidaritas lintas agama di era yang semakin global ini perlu dipertegas kembali secara nyata. suatu pola varian keagamaan, budaya, etnik dan suku dengan ritual yang berbeda-beda mampu dengan mudah ditumbuh kembangkan dibawah satu bendera kebangsaan. Dalam kondisi yang demikian plural seperti sekarang ini, tentunya kepercayaan dan kerukunan menjadi ujung tombak dari tegaknya keberagaman etnis, budaya dan agam tersebut.

Tahun baru Imlek yang diperingati pada 8 Fabruari 2016 ini merupakan momen besar untuk memperkokoh kerukunan dan solidaritas universal. Hal ini untuk Menjawab semangat zaman yang semakin tergerus oleh arus global.  Tidak lain adalah agama yang selalu menjadi benteng utama untuk memperkuat diri dari kepungan arus tersebut. Seperti halnya Imlek yang  merpakan hari raya keagamaan untuk memperingati nabi Konfusius, adalah sebagai salah satu pintu dari berbagai pintu yang bias dimanfaatkan untuk membentengi keberagaman kita.

Tahun baru Imlek juga sering disebut dengan Kung Sang Guru. Tapi bagi warga Tionghoa yang memeluk agama lain, Imleka dalah peringatan hari cultural cina. Jauh hari sebelum perayaan tahun baru Imlek, tidak hanya di Cina, di Indonesia pun sudah sibuk menyiapkan berbagai pernik untuk menghiasi rumah, kantor dan rumah makan untuk menyambut tahun besar itu. tentunya ini tidak lepas dari keturunan warga Tionghoa Cina yang berdomisili di Indonesia. Dulu dan mungkin hingga sekarang, warga Tionghoa Pada umumnya adalah pelaku bisnis yang tersebar di seantereo nusantara. Namun sejak terpilihnya KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden, warga Tionghoa juga sudah bias andil dalam partisipasi politik di Indonesia.

Bisa dikatakan pada Era-nya Gus Dur, warga Tionghoa menemukan posisinya di Indonesia. Pintu-pintu untuk merayakan tahun baru Imlek juga mulai dibuka selebar-lebarnya. Pada masa inilah warga Tionghoa lebih dihargai dari pada tahun –tahun sebelumnya di Indonesia. Hal itu sekaligus juga mengawali terbukanya pluralisme yang lama diperjuangkan oleh KH Abdurrahman wahid. Upaya Gus Dur tidak lain adalah ingin membentuk kerukunan antar umat beragama dan membangun nasionalisme demi kokohnya Negara Kesatuan Republic Indonesia.

Dalam hal ini, Gus Dur adalah orang yang pertama mencabut Intruksi Presiden (Inpres) No 14/1967. Inpres yang dikeluarkan oleh Soeharto ketika awal berkuasa pada Tahun 1967 itu melarang kaum Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga. Karena Inpres tersebut, selama masa Orde Baru, aktifitas kaum Tionghoa seolah-olah dibatasi, tidak hanya dalam merayakan pesta agama tetapi juga partisipasi politik kelompok ini ditekan selama pemerintah Soeharto. dengan tegas, Gus Dur juga mengatakan, kalau yang lain bisa pergi kemasjid, Gereja, atau ke makam-makam ziarah, kenapa orang Tionghoa tidak boleh ke Kelenteng.

Robertson Smith mengatakan bahwa salah satu fungsi social upacara atau peringatan keagamaan adalah mengintensifkan solidaritas masyarakat. Dalam suatu perayaan emosi umat beragama dibawa dalam penegasan suatu identitas dan kelompok,  ikatan agama dan peradaban akan bertahan lama. Demikian karena dalam setiap peringatan, semangat dan emosi itu dibangkitkna kembali.

Ritual disatu sisi sebagai intensifitas solidaritas masyarakat, menjadi pintu untuk menciptakan kerukunan secara universal. Kerukunan tidak hanya untuk sesama pemeluk agama yang satu, akan tetapi sifatnya lebih umum dan tidak mengikat. Semangat agama yang berkobar dan dilandasi atas dasar solidaritas yang kuat inilah yang akan membimbing kerukunan antara umat beragama di Indonesia.

Memupuk Kerukunan

Atas nama semangat agama yang hidup dibawah naungan berbagai macam agama di Indonesia,  kerukunan justru menjadi tema besar yang banyak di dialogkan oleh berbagai tokoh agama. Sebab dengan kerukuan, persatuan dan kesatuan serta nasionalisme akan terbentuk dengan baik.  Bahkan dengan bangga kita akan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih indah dan bermartabat dari pada saling rukun diantara satu dengan yang lainnya. Dari kerukunan inilah maka akan muncul persaudaraan. 

Prinsip persaudaraan inilah yang akan menjadi modal utama dalam menjalin kerukunan antara umat beragama. Pada hakikatnya pesan persaudaraan universal sudah dapat ditemukan dalam setiap agama. Dalam tradisi Konghucu, persaudaraan harus diwujudkan umat Konghucu dan masyarakat cina sebagai pandangan hidup untuk menghargai sesamanya. dengan demikian, kesejukan ajaran agama sangat dinantikan untuk mengikat kembali jalinan kemanusiaan kita yang sudah mulai pudar. Perbaikan sikap, jiwa dan hati merupakan kunci dalam membangun bangsa yang lebih cerah.

Sudah selayaknya kita merenugkan kembali kata-kata dari Kung Sang Guru “jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keserasian dalam rumah tangga. Jika ada keserasian dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa. Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia”. Renungan dari Kung Sang Guru di atas cukup menjadi bahan refleksi bagi kita tentang pentingnya kebenaran, keserasian, ketertiban dan perdamaian.

Maka dari itu, pada momen tahun baru Imlek ini jangan hanya kita manfaatkan sebagai ajang pawai atau seremonial semata. Tahun baru Imlek akan menjadi beku ketika kita hanya memanfaatkannya sebagai ajang untuk unjuk diri atau pamer dan bermewah-mewahan. Akan tetapi juga sebaliknya, Imlek akan lebih bermakna manakala kita mampu memanfaatkan momentum ini untuk memupuk rasa kemanusiaan dan solidaritas yang tinggi. [Oleh: Nur Kholis Anwar]

Imlek: Memupuk Solidaritas Kemanusiaan
4/ 5
Oleh
Load comments