“Menyembuhkan” Penyakit Akut Korupsi
Rabu, 03 Februari 2016
Opini
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi |
Adagium yang mengatakan
bahwa corruptio optimi pesima
(pembusukan moral dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah perbuatan yang
paling jelek/keji) tentulah amat sangat dibenarkan. Pasalnya, moralitas para
pejabat pemerintahan sudah mati oleh tumpukan ambisi kekuasaan. Yang ada di
pikiran mereka hanyalah cara untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, bukan
cara memimpin sebaik-baiknya. Hal itulah yang kemudian bisa menyumbat hati nurani
mereka.
Syeh
Hussein Alatas menyebutkan benang merah
yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di
bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma,
tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan,
penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh
masyarakat.
Korupsi
bisa dikatakan sudah menular diberbagai elemen pemerintahan, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Baru-baru ini, rakyat Indonesia juga digegerkan dengan adanya
temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang telah mengaudit pengelolaan dana haji periode
2004-2012. Dari audit tersebut, PPATK menemukan transaksi mencurigakan sebesar
Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya.
Selama
periode tersebut, dana haji yang dikelola mencapai Rp 80 triliun dengan imbalan
hasil sekitar Rp 2,3 triliun per tahun. KPK juga mensinyalir atas laporan dari
PPATK ini bahwa adanya indikasi korupsi dana haji dilingkungan kementerian
agama. Salah satu item dengan temuan terbanyak adalah pengeluaran biaya tidak
langsung untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pelayanan jemaah. KPK
menemukan pembiayaan akomodasi rombongan Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat
dan keluarga di Hotel AL Medina Palace, Jeddah, pada tanggal 18 November 2009
sebesar 8.675 real atau setara Rp 21,7 juta (kurs November 2009 adalah 1 real =
Rp 2.500).
Kemudian,
pembayaran gaji ke-13 tenaga bulanan teknis urusan haji dan lembur sebesar SR
310.000 atau Rp 775 juta. Pembelian kantor teknis usaha haji dan wisma haji di
Jeddah sebesar SR 25 juta atau Rp 62,5 miliar. Pemeliharaan kantor dan wisma
haji di Jeddah, Makkah, dan Madinah sebesar SR 415 ribu atau Rp 1,03 miliar.
Ditambah biaya petugas non-kloter yang ziarah ke Madinah, besarnya SR 9 per
orang atau Rp 22.500 per orang (tempo, 10/2).
Temuan
PPATK ini secara langsung telah menunjukkan betapa moralitas para pejabat
publik telah mati. Sampai-sampai dana untuk haji-pun disalah gunakan untuk
kepentingan kelompoknya sendiri. Kebobrokan moral para pejabat itu terpampang
di ruang-ruang publik setelah PPATK menemukan adanya penyalah gunaan dana haji.
Sungguh memalukan, dana haji sebagai jalan untuk ibadah justru dijadikan bisnis
busuk para pejabat. Disinilah nurani telah mati.
Puisi
Almarhum W.S. Rendra yang berjudul Maskumambang, dengan tegas juga tentang juga
mnjelaskan kehidupan agama ditengah kepungan politik masa kini. Dengan tegas
beliau mengatakan, “apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama
pasti terjadi. karena politik tidak punya kepala, tidak punya telinga, tidak
punya hati. Politik hanyalah mengenal kalah dan menang, kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal”.
Menyembuhkan
Penyakit
Seharusnya pemerintah
sadar bahwa negara adalah sebagai tempat ekspresi (action)
dan komunikasi (comunication) ruang
publik yang menyimpan rapat-rapat kepentingan individu. Semakin ditampakkannya
kepentingan individu dalam arena ruang publik, akan berdampak pada semakin
lebarnya ruang-ruang untuk korupsi. Sebab kepentingan individu para pejabat
yang terlampau tinggi, akan mencelakakan kepenitngan bersama (nation state).
Akan tetapi, menunggu
kesadaran para pejabat untuk berhenti mengkorupsi uang negara, sama halnya
dengan menunggu keajaiban datang. KPK yang digadang sebagai lembaga pembersih
kasus korupsi, ternyata tidak membuat jera para koruptor. Yang ada justru koruptor
semakin mewabah. Sampai pada tahun 2013 saja, Indonesia masuk dalam 114 dari
177 negara yang tak korupsi. Itu
artinya, Indonesia masih lemah dalam pemberantasan korupsi.
Bagi
Hannah Arendt, koruptor sebenarnya bukanlah manusia politik, ia tidak lebih
sebagai binatang. sebab manusia politik hanya ada ketika ia berada di ruang
publik dan mempunyai kepentingan bersama untuk memajuan negara. Kesalahan yang
paling fatal pemerintahan adalah ketika pemerintah masih memelihara dan
melindungi binatang-binatang (koruptor) dari kasus korupsinya.
Maka
dari itu, untuk menyembuhkan penyakit akut korupsi itu, masyarakat Indonesia
harus bertindak tegas apabila melihat praktik-praktik korupsi. Pertama
kali yang harus dilakukan adalah kesadaran diri kita untuk berusaha melawan dan
memerangi sifat-sifat buruk dalam diri kita dengan petuntuk-petunjuk Tuhan dan
akal sehat. Sebab, matinya nurani dan hilangnya akal sehat adalah karena
kurangnya benteng pertahanan dalam diri yang berupa keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, perang melawan korupsi merupakan suatu tekad keharusan
yang perlu ditanamkan dalam sanubari bangsa Indonesia. [Cholis]