Menilik Diskriminasi Petani Tebu di Desa Wonokerto,Trangkil, Pati, Jawa Tengah
netizenia.com |
Tebu membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk dapat dipanen. Biasanya ditandai dengan munculnya bunga tebu yang berwujud seperti kapas. Kalau di desa Wonokerto biasanya ditandai dengan ritual pasar malam yang di sana dinamakan (nggantingi) ngalab berkah panen yang melipah. Baik tua, muda, besar, kecil dan anak-anak balitapun diajak oleh orang tuanya untuk menikmati pesta itu. Hampir satu bulan penuh acara seperti itu menghiasi kota kecamatan Trangkil, lalu orang-orang Wonokertopun tak mau ketinggalan menyaksikan acara tersebut.
Akhir-akhir bulan acara puncak akan dipentaskan sandiwara ketoprak, layar tancap, dan pagelaran seni budaya pewayangan. Seraya dalam pesta itu, warga desa mulai menyibukkan diri untuk mencari kabar tentang harga jual tebu. Tebu biasanya tidak dijual sendiri oleh para petani ke pabrik tebu yang bernama Kebon Agung, orang sana lebih familier dengan sebutan Pabrik Gula Trangkil. Pabrik itu berdiri tahun 1835 sejak penjajahan Belanda di Indonesia hingga sekarang.
Para petani biasanya menawarkan tebu mereka kepada makelar tebu yang ada di desa mereka, namun petani juga tidak sembarangan mempercayakannya. Makelar tidak semuana memiliki jiwa bisnis saling menguntukan, tetapi malah merugikan sebelah pihak yaitu petani tebu. Semisal, ketika tebu sudah ditebang dimuat dalam bak mobil Truk untuk di bawa ke pabrik tebu, para makelar tidak langsung membayarnya, malah sengaja melabatkan-lambatkan uang hasil panen yang dibeli makelar tersebut kepada petani. namun ada juga makelar yang baik hati, ketika membeli tebu langsung memberikan uagnya. Petani sangat senang dengan makelar yang seperti ini dapat dipercaya, karena uang itu yang nantinya akan digunakan kembai untuk menanam tebu, serta keperluan yang lainnya.
Peran Pemerintah Merosotkan Harga Tebu
Melihat letak geografis negara Indonesia yan agraris, menyebabkan mayoritas pendudukya adalah bercocok tanam atau bertani. Tanahnya yang subur, seluruh tumbuhanpun dapat tumbuh disini. Sehingga menjadi kebanggaan tersendiri melihat kesuburan tanah Nusantara.
Namun ketika mulai memasuki tahun 2014, harga gula mulai turun tajam hingga para petani tebu kelimpungan. Mereka mengajukan nota protes terhadap pemerintah yang dinilai tidak memihak pro pada petani. Hingga para makelar, para petani tebu, dan pabrik gula yang kecil-kecil juga harus terkena imbasnya hingga gulung tikar.
Memang kalau penuis analisi selama ini, terutama tahun 2014-2016 sekarang harga tebu yang menjadi indukya gula mulai membaik. Padahal sebelumnya para petani harus berhutang menjual apapun untuk menutupi kekurangannnya, makelarpun harus menjual mobil-mobil mewahnya untuk membayar hutangnya.
Mencoba melihat ke belakang, merekam jejak pemerintah. Pada waktu itu, disaat bersamaan pemerintah melakukan kebijakan impor gula yang justru mematikan harga gula di Indonesia. Pemerinta dinilai tidak memihak rakyat, malah menindas rakyat.
Sesuatu yang Keliru
Itu merupakan sesuatu yang keliru. Di negara Vietnam, pemerintah justru menjadi penghubung untuk memajukan para petani mereka. Melalui program pengembangan kemajuan SDM sumber daya manusia. Sehingga tertata rapi rancangan pertanian dan pemerintah menyiapkan diri menjadi (aktor) orang yang melakukan tindakan, seperti memberi pupuk, bibit, dan penyuluhan.
Berbeda dengan di Indonesia para petani dibiarkan sebebas-bebasnya hingga tak tentu arah untuk melakukan hal apapun. Kebingungan untuk memulai bertani. Dengan melihat fenomena yang seperti itu, akankah negara subur makmur ini dapat mencotoh negara Vietnam yang maju pertaniannya serta pro rakyat? Semoga! [Aris/ ntz]