Meneladani Gandhi dan Einstein

Meneladani Gandhi dan Einstein

Meneladani Gandhi dan Einstein
Selasa, 28 Juni 2016

Pada 30 Januari 1948, Gandhi meninggal di New Delhi akibat tembakan dari seorang Hindu militan saat hendak memimpin doa dalam upaya penyelesaian konflik antara Muslim dan Hindu. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 18 April 1955, Einstein juga menghembuskan napas terakhir di Amerika Serikat pada usia 76 tahun. Kepergian Gandhi dan Einstein menyentak banyak orang saat itu. Sosok pemikir jenius dan pejuang kemanusiaan telah pergi. Jasad mereka telah jadi abu, tapi pemikiran, ide dan jejak perjuangan mereka tidak benar-benar sirna seperti jasad fana mereka.
Gandhi dan Einstein adalah dua sosok beda karakter, beda bangsa dan beda arena perjuangan. Bila Einstein masyhur lantaran pelbagai penemuan dahsyat di bidang fisika, Gandhi justru selalu dikenang karena semangat nasionalisme humanisnya. Spirit dari Gandhi maupun Einstein nampaknya selalu relevan bila diteladani sampai kapan pun. Spirit luar biasa itulah yang coba digali dari buku Berpikir Ala Einstein dan Bertindak Ala Gandhi ini.
Kita tahu kalau Einstein adalah ilmuwan besar yang kapasitasnya jarang yang dapat menyamai. Ia dikenal luas sebagai ilmuwan terbesar abad-20. Temuan teori relativitas yang mengangumkan itu, menjadikannya sebagai ilmuwan besar yang dikenal di seluruh penjuru jagad. Sebab, bermula dari teori relativitas tersebut, dunia bisa menemukan “wajah barunya”.
Einstein lahir di Jerman pada 14 Maret1879. Di masa kecil, banyak yang mengatakan Einstein tergolong anak yang lambat, termasuk dalam berbicara. Bahkan sewaktu ia lahir, ibunya pernah menganggap kalau Einstein lahir dalam kondisi cacat. Sebab, Einstein lahir dengan bagian kepala belakang nampak terlalu besar.
Masa kecil Einstein tidaklah ada sasmita kalau kelak ia akan jadi jenius. Bahkan ia sempat gagal masuk di universitas saat usia 17. Tetapi, sedari kecil, Einstein sudah menunjukkan minat terhadap ilmu pengetahuan. Ia terpikat pada kompas yang diberikan oleh ayahnya. Einstein pada dasarnya bukanlah anak bodoh. Terdapat kekuatan besar dalam diri Einstein yang sewaktu kecil belum disadari oleh orang di sekitarnya.
Baru pada 1905 Einstein mulai mengguncang dunia. Penemuan besar teori relativitas menjadikannya ilmuwan terbesar abad-20. Tidak hanya itu, Einstein juga banyak memberi sumbangsih bagi mekanika statistik, kosmologi dan lainnya. Pada 1921, Einstein mendapat penghargaan nobel di bidang fisika ihwal penguraiannya tentang efek fotolistrik.
Einstein adalah pribadi yang cinta pengetahuan. Ia berpikir dan bekerja dengan tekun. Ia menggunakan otak dengan semaksimal yang ia mampu. Jalan yang dilalui Einstein pun tidak lah selempang jalan tol. Bagaimana pun juga, Einstein adalah manusia biasa; bisa marah, kecewa, putus asa. Tapi porsi ia “mengeluh” hanya sedikit, selebihnya: berusaha, berusaha, berusaha.
Hal serupa juga dialami Mahatma Ghandi. Pahlawan India –dan juga dunia—ini adalah teladan luar biasa dalam bidang sosial perdamaian. Ia menggalang persatuan untuk mengusir penjajah, tapi tidak dengan jalan angkat bedil. Ia memilih jalan damai, nasionalisme yang humanis. Sebagai tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan India, Gandhi selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar tindakannya.
Karena itu pula, ia tidak setuju dengan tindak kekerasan yang dilakukan rakyat India dalam upaya mengembalikan kemerdekaan yang dirampas Inggris. Bahkan Gandhi akan merasa kecewa bila ada rakyat India yang berlaku arogan/membunuh meski itu kepada bangsa penjajahnya. Gandhi lebih memilih perlawanan dengan damai meski terkesan lambat. Perjuangan nir kekerasan selalu diusung lelaki dengan wajah kalem ini.
Gandhi lahir di India pada 1869. Ia sempat ke Inggris untuk belajar tentang ilmu hukum. Sekembalinya ke India, Gandhi mengabdikan diri menjadi aktivis sosial dalam membantu rakyat India yang ditindas Inggris. Dalam aksi perlawanannya itu, Gandhi berpegang pada beberapa ajaran, antara lain: Ahimsa, Satyagraha, Swadesi dan Hartal.
Sebagai “sesepuh” perjuangan, Gandhi pasti tidak sepi dari musuh. Bahkan dalam bertindak, ada saja pihak yang tidak setuju dengan keputusan Gandhi. Tetapi, Gandhi terkenal sebagai sosok yang kalem dan bahkan kepada musuh pun, ia tidak menyimpan dendam. Perlawanan damai ala Gandhi itu lambat-laun berbuah pada kemerdekaan India, meskipun ia akhirnya mati tertembak saat hendak membaca doa dalam upaya mendamaikan komunitas Muslim dan Hindu.
Pola pikir dan cara bertindak Gandhi dan Einstein bisa pembaca pelajari dari buku setebal 180 halaman ini. Buku ini memang bukanlah buku yang pertama mengulas sosok Gandhi dan Einstein, tapi keberadaan buku ini menjadi cukup memikat karena menghadirkan dua sosok paling berpengaruh dunia secara bersamaan.


Judul Buku: Berpikir ala Einstein dan Bertindak ala Gandhi
Penulis : J. Ferdinand Setia Budi
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2016
Tebal : 180 halaman
Peresensi: Rohman Abdullah*)

Meneladani Gandhi dan Einstein
4/ 5
Oleh
Load comments