Senjakala Nasionalisme Kita

Senjakala Nasionalisme Kita

Organisasi Budi Utomo (1908) telah membawa fajar pencerahan bagi bangsa Indonesia. Sebuah era kebangkitan dimana penjajahan dan penjarahan yang dilakukan oleh Belanda, perlahan mendapatkan perlawanan. Masyarakat sadar betul bahwa hidup dibawah penjajahan sama halnya tak hidup.


Pada saat Dr Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, tujuan utamanya adalah untuk mempercepat kemerdekaan.  Nasionalisme dibangun sedemikian rupa untuk menyatukan kekuatan bangsa yang masih tercerai berai akibat kekuasaan kolonial yang menerapkan politik  divide it impera. Pada awalnya, Budi Utomo tidak begitu seksi, tapi perlahan menimbulkan reaksi.


Hirah bangsa Indonesia untuk keluar dari jerat penjajahan kian tak terbendung. Mereka yang tergabung dalam Budi Utomo membentuk suatu pemahaman baru tentang kebangsaan dan nasionalisme kepada masyarakat. Lahir dari latar belakang penderitaan, penindasan dan kekejaman Belanda, bangsa Indonesia mulai bangkit dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan waktu yang begitu lama (1908-1945), alhasil bangsa Indonesia berhasil mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan.


Pada saat itu pula, Indonesia lahir menjadi sebuah Negara Baru (New Emerging Forces-Nefos) yang ingin dihargai dan sederajat dengan Negara-Negara Lama (Old Emerging Forces-Oldefos). Bangsa Indonesia mulai bisa bernapas lega, masyarakat tidak lagi merasa ketakutan dan bisa berdiri tegak dihadapan orang asing.


Penanda penting dari Kebangkitan Nasional ini adalah adanya cita-cita bersama, nasionalisme dan kebangsaan yang kuat antar masyarakat untuk membentuk tatanan Indonesia baru tanpa penjajahan. Hirah nasionalisme dan kebangsaan yang terpatri dalam diri bangsa Indonesia tersebut, menjadi modal awal untuk meruntuhkan berbagai bentuk kekejaman dan penindasan.


Daniel Dakidae (2001) mengatakan, nasionalisme Indonesia adalah sutau “agama baru” kaum cendekiawan Indonesia pada awal abad sampai pertengahan abad duapuluh. “Agama baru” ini dengan susah payah disebarkan oleh kaum nasionalis ke kalangan bawah. Pertanyaannya, kalau itu adalah suatu agama baru, atas dasar mana semuanya berpijak? Jawabannya yang pasti adalah bahwa suatu agama tentang kebangsaan tidak lain berpijak pada bangsa.


Ketika pijakan kebangsaan dan nasionalisme masyarakat Indonesia dahulu itu mampu mengusir Belanda, lalu bagaimana dengan nasionalisme kini? Setelah sekian lama kita menghirup udara segar kemerdekaan, tapi tetap saja negara kita masih terkungkung dengan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Penjajahan tidak muncul dari luar (sebagaimana pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan Inggris), tetapi justru muncul dari dalam sendiri.


Di kalangan elite pemerintahan, nasionalisme justru beralih fungsi menjadi keserakahan komunial elite pemerintahan. Bayangkan, uang negara dikorupsi secara berjamaah dengan dalih untuk kepentingan rakyat. Pemberantasan korupsi terhalang oleh legislasi yang dimanipulasi sedemikian rupa untuk mempersulit proses penanganannya. Ironisnya, nasionalisme dijadikan kabing hitam untuk memperkaya diri dan kepentingan kelompoknya sendiri.


Kita patut prihatin dengan kondisi pemerintahan Indoensia saat ini. Banyak sekali mafia-mafia korupsi yang bercocol di lingkungan pemerintahan sehingga menimbulkan kerugian negara dengan skala yang sangat besar. Parahnya, diantara para mafia-mafia tersebut membuat ikatan yang kuat sehingga negara tidak bisa berkutik. Tak ayal, negara kemudian dikendalikan oleh para mafia.


Dikalangan masyarakat kelas bawah, nasionalisme justru menjadi ancaman bagi pemerintah. Pasalnya, nasionalisme terbentuk dari latar belakang penindasan, kemiskinan, tidak adanya kesejahteraan dan maraknya kekerasan. Rakyat kemudian berbondong-bondong turun ke jalan, berdomonstrasi dan menuntut hak-hak mereka. Janji-janji politik dalam kampanye ditagih, diadili dan dimintai pertanggung jawaban.


Di kalangan pemuda, nasionalisme seperti tak nampak lagi. Mereka justru sibuk mencari kepuasan diri dengan melakukan hal-hal yang melanggar hukum. Sejauh ini, kita dapat melihat bagaimana aksi kekerasan seksual yang dilakukan para pemuda, mereka terjerembab dalam obat-obatan terlarang, tawuran, sex bebas dan berbagai hal lainnya. Sebagian dari mereka ada juga yang terjerumus dalam magnet kekuasaan.


Bahkan dengan secara sadar dapat dikatakan bahwa kaum muda saat ini sudah tidak lagi gelisah dan resah melihat tatanan negara Indonesia yang kian cakau balau ini. Mereka sudah menjadi bagian dari kemapanan kekuasaan sehingga melalaikan apa yang sudah diamanatkan oleh rakyat. Wawasan kebangsaan yang menjadi cikal bakal hadirnya nasionalisme seakan luntur, hilang ditelan zaman.


Sebagai masyarakat yang berbangsa, kita patut sadar bahwa bangsa adalah suatu Entwurf, proyeksi, baik dalam dimensi waktu dan ruang. Dalam bahasa Martin Heidegger dalam bahasa manajemen modern, bangsa menjadi proyek untuk dikerjakan, diolah sehingga bangsa menjadi suatu mode of existencie. Bangsa menjadi proyeksi kedepan sekaligus kebelakang.  Karena itulah tidak pernah bisa apabila dikatakan suatu bangsa itu “lahir”, namun bangsa itu “hadir” dalam proses “formasi” sebagai suatu “historical being” sebagaimana yang dikatakan Anderson.


Padahal sejatinya kita tahu bahwa atas nama nasionalisme, terbentuklah sebuah negara bangsa yang besar, yang mampu memusatkan pasar, sistem administrasi, perpajakan, dan pendidikan. Sementara semangatnya tidak lain adalah kerakyatan dan demokratik. Melalui nasionalisme-lah segala bentuk sistem nilai yang feodalistik dan kekuatan penjajah yang opresif dibumi hanguskan. Nasionalisme, pada gilirannya akan menjadi modal bagi lahirnya kedaulatan rakyat serta penentuan nasib mereka secara independen. [Cho/Ntz]

Senjakala Nasionalisme Kita
4/ 5
Oleh
Load comments