Runtuhnya Moral Politik Para Politisi
Senin, 22 Februari 2016
Opini
netizenia.com |
Moralitas
adalah elemen penting sebagai tiang penyangga kehidupan yang damai dan
berkeadaban. Moralitas ibarat baju yang kita pakai untuk menutupi butuh kita di
dalam ruang sosial. Bayangkan jika kita tidak memakai baju, orang akan
mengatakan bahwa kita adalah orang gila. Maka dari itu, moralitas adalah
derajat manusia untuk membedakan antara manusia normal dengan hewan maupun orang
gila.
Derajat
manusia dalam kehidupan sosial bukan ditentukan oleh banyaknya harta kekayaan, pendidikan,
atau sebagai pejabat negara. Bahkan moralitas merupakan harga mati untuk
menjamin terciptanya tatanan kehidupan yang beradab. Disinilah bahwa moralitas
sebagai baju kebangsaan harus kita pakai setiap saat.
Dalam
bernegara, moralitas para penyelenggara negara (pejabat pemerintahan) adalah sebagai
modal utama untuk membangun tatanan kenegaraan yang jujur, adil, bersih, makmur
dan sejahtera. Rakyat memilih para pejabat adalah dengan moralitas dan
rasionalitas serta pertimbangan yang matang. Tujuannya agar mereka yang dipilih
bisa memperhatikan dan mendengar jeritan rakyat. Kepercayaan adalah modal utama
rakyat dalam memilih para pemimpinnya.
Namun,
ketika mereka sudah duduk manis di kursi pemerintahan, moralitas kemudian
dikesampingkan. Uang menjadi opium yang bisa meruntuhkan moralitas pejabat
manakala tidak mampu mengontrol keinginan. Sering kali para pemimpin kita
terjebak dalam lubang kenikmatan sesaat tanpa berpikir panjang apa akibatnya.
Moralitas kemudian digadaikan hanya untuk uang.
Benar
apa yang dikatakan oleh penulis Amerika serikat kenamaan, James Mac Gregor Burns
bahwa tanpa etika, kepemimpinan tereduksi menjadi manajemen dan politik menjadi
sekedar teknik memenangkan kekuasaan. Korupsi seakan menjadi gaya hidup yang
hampir dilakukan oleh semua pejabat pemerintahan. pelaku penyimpangan uang
negara merupakan target operasi, bahkan sebagai proyek basah yang
disekenariokan segelintir pejabat dalam upaya saling mengamankan sehingga
seolah-olah masalahnya bersih dan tidak merugikan uang negara.
Semakin
jelas bahwa nurani dan moralitas pejabat kita sudah berada pada titik paling
minus. Betapa tidak, mereka sebagai pemimpin seharusnya bisa memberikan contoh
yang baik kepada bawahan dan rakyatnya. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, mereka
mempraktikkan contoh amoral dan sangat merugikan negara. Padahal, mereka sudah
makan gaji dari uang rakyat.
Mereka
tidak peduli lagi terhadap dampak perbuatan mereka yang merugikan negara, yang
berkonsekuensi kepada tak terpenuhi atau tak terlayaninya sebagian hak-hak
rakyat. hukum halal-haram bagi mereka adalah dongeng religius yang hanya ada di kitab-kitab belaka.
Ambruknya moralitas pejabat pemerintahan inilah yang secara langsung akan meruntuhkan martabat
bangsa Indonesia. Bahwa baju kebangsaan
kita adalah moralitas, tetapi moralitas itu dicabik-cabik oleh penguasa negara
sendiri.
Penyangga Demokrasi
Dalam
kehidupan demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi oleh
undang-undang selama kebebasan itu tidak mengganggu orang lain. Disinilah bahwa
demokrasi selalu berjalan beriringan dengan moralitas. Sebab, demokrasi tanpa moralitas yang baik akan
berimbas pada demokrasi liberal. Kepentingan individu menjadi pemandu jalannya
demokrasi. Dalam ruang demokrasi, moralitas adalah kesadaran bangsa untuk
saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain tanpa harus menyakiti.
Ada
kecurigaan publik bahwa selama ini bangsa ini hidup di alam demokrasi tak
bertuan. Prinsip kekuasaan di tangan rakyat justru dimanipulasi oleh elite
politik yang menyembunyikan kebenaran dari rakyat. Rakyat yang sejatinya tuan
dari sistem demokrasi, kini tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri. Suaranya
tak pernah didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan keinginannya tak
pernah diwujudkan.
Jacques
Ranciere dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010) mengatakan,
demokrasi adalah sebuah paradoks, di mana pandangan kekuasaan oleh rakyat
(demos) justru adalah lukisan muram rakyat yang memiliki kekuasaan, tetapi tak
ada yang memberi mereka hak untuk menggunakannya. Demokrasi seakan menjadi
proyek politik para elite pejabat pemerintahan dan rakyat adalah sebagai
tumbalnya.
Sejatinya
kita juga tak menghendaki hadirnya demokrasi beku (frozen democracy)
sebagaimana ditengarai George Sorensen dalam buku Democracy and
Democratization: Process and Prospect in a Changing World (1993). Demokrasi
beku ditandai dengan terpuruknya kondisi ekonomi, terhambatnya pembentukan
masyarakat sipil, gagalnya tercipta soliditas di kalangan elite, dan tidak
tuntasnya masalah hukum pemerintahan lama.
Gejala
itu terjadi karena teralienasinya rakyat dengan pemimpinnya di Senayan. para
pejabat bertindak dengan logika kekuasaannya sendiri yang secara diametral
berbeda dengan dinamika dan kebutuhan rakyatnya. Mereka terlalu ambisius dan serakah
untuk mementingkan keinginannya sendiri. Kecenderungan sikap dan sifat serakah seperti
itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara
yang merupakan bagian dari harta rakyat dirampas atau dirampok dengan tidak
henti-henti dan tak bosan-bosannya.
Praktik
demokrasi yang lepas dari moralitas akan berdampak buruk terhadap efektifitas
bernegara. Pejabat yang tidak bermoral akan memanfaatkan demokrasi sebagai
proyek politik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
[Nur Kholis Anwar]