Ijazah Perguruan Tinggi Tak Lagi Jadi jaminan
Selasa, 17 Mei 2016
Edukasi
netizenia.com |
Lulus dari perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta tidak dapat menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai yang kita inginkan. Banyak sekali para sarjana yang menganggur. Kalaupun bekerja, kerjaan yang didapatkan terkadang tidak sesuai dengan kemampuannya. Kenyatannya, para sarjana justru semakin kesulitan untuk bekerja, terlebih saat ini mereka harus berani bersaing dengan dengan tenaga kerja asing dari negara-negara ASEAN sebagai dampak berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi. Dari sekian banyaknya, mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1) . Dari jumlah itu, penganggur paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang.
Angka pengangguran terdidik pada 2014 itu meningkat dibandingkan penganggur lulusan perguruan tinggi pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang).
Salah satu alasan banyaknya pengangguran yang didomonasi oleh lulusan perguruan tinggi adalah karena adanya ketimpangan antara profil lulusan universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan perusahaan. Berdasarkan hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Alasan lain banyaknya pengangguran terdidik adalah karena kurangnya lapangan pekerjaan, pertumbuhan perguruan tinggi dan program studi begitu pesat, serta minimnya kompetensi para lulusan atau tidak sesuainya kompetensi dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja. Faktor ketersediaan lapangan kerja merupakan hal kompleks tersendiri yang, antara lain, terkait dengan ketersediaan investasi memadai untuk menyerap tenaga kerja dari lulusan berbagai program studi, kinerja ekonomi nasional, dan kondisi ekonomi global.
Penyebab lain, seperti pengendalian mutu institusi pendidikan tinggi dan pembekalan kompetensi lulusan, sesungguhnya dapat lebih dikendalikan. Jangan sampai, ketika mencari pekerjaan, individu dalam usia produktif tidak memiliki keahlian tertentu sehingga dianggap tidak menarik bagi pencari kerja.
Kesenjangan kompetensi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja sebenarnya sudah ada jalan keluar dengan adanya acuan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja Indonesia. KKNI menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.
Dengan KKNI, ijazah bukan segala-galanya. Berbekal kompetensi yang dimiliki, seseorang bisa memperoleh status setara dengan pemilik ijazah yang memperoleh lewat jenjang pendidikan tertentu. Tentu saja pengelola perguruan tinggi harus mengubah paradigma, dengan tidak berpuas diri hanya memberikan ijazah kepada mahasiswa tanpa melihat kemampuan dan keterampilan alumninya. [Cho/ Ntz]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi. Dari sekian banyaknya, mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1) . Dari jumlah itu, penganggur paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang.
Angka pengangguran terdidik pada 2014 itu meningkat dibandingkan penganggur lulusan perguruan tinggi pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang).
Salah satu alasan banyaknya pengangguran yang didomonasi oleh lulusan perguruan tinggi adalah karena adanya ketimpangan antara profil lulusan universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan perusahaan. Berdasarkan hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Alasan lain banyaknya pengangguran terdidik adalah karena kurangnya lapangan pekerjaan, pertumbuhan perguruan tinggi dan program studi begitu pesat, serta minimnya kompetensi para lulusan atau tidak sesuainya kompetensi dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja. Faktor ketersediaan lapangan kerja merupakan hal kompleks tersendiri yang, antara lain, terkait dengan ketersediaan investasi memadai untuk menyerap tenaga kerja dari lulusan berbagai program studi, kinerja ekonomi nasional, dan kondisi ekonomi global.
Penyebab lain, seperti pengendalian mutu institusi pendidikan tinggi dan pembekalan kompetensi lulusan, sesungguhnya dapat lebih dikendalikan. Jangan sampai, ketika mencari pekerjaan, individu dalam usia produktif tidak memiliki keahlian tertentu sehingga dianggap tidak menarik bagi pencari kerja.
Kesenjangan kompetensi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja sebenarnya sudah ada jalan keluar dengan adanya acuan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja Indonesia. KKNI menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.
Dengan KKNI, ijazah bukan segala-galanya. Berbekal kompetensi yang dimiliki, seseorang bisa memperoleh status setara dengan pemilik ijazah yang memperoleh lewat jenjang pendidikan tertentu. Tentu saja pengelola perguruan tinggi harus mengubah paradigma, dengan tidak berpuas diri hanya memberikan ijazah kepada mahasiswa tanpa melihat kemampuan dan keterampilan alumninya. [Cho/ Ntz]