Mati Surinya Kesenian Daerah Kita

Mati Surinya Kesenian Daerah Kita

Mati Surinya Kesenian Daerah Kita
Rabu, 11 Mei 2016
netizenia.com
Budaya sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang merupakan manifestasi luhur bangsa Indonesia, kini tengah berada dalam kubangan kematian. Semakin maraknya kebudayaan impor (budaya barat), telah banyak membawa pengaruh besar kaitannya dengan pergeseran kebudayaan Indonesia. Pergeseran ini ditandai dengan minimnya apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan dan keseniannya sendiri. Masyarakat Indonesia justru lebih memuja-muja produk kebudayaan barat. Akibatnya, budaya dan kesenian daerah semakin tidak memiliki taring. Tragisnya, kebudayaan dan kesedian daerah malah diklaim oleh negara lain.

Kita lihat saja misalnya seperti tari pendet dan tari reog yang akhir-akhir ini diklaim oleh negara Malaysia sebagai kesenian mereka. Tari pendet merupakan hasil kreasi masyarakat Bali sedangkan tari reog adalah hasil kreasi masyarkat Ponorogo. Kedua tari itu lahir, tumbuh dan berkembang di Indonesia selama bertahun-tahun. Namun karena minimnya apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap kesenian tradisional, tarian itu hampir saja dicaplok oleh Malaysia.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap kesenian daerah, secara tidak langsung telah mencekik secara perlahan berbagai kesenian daerah yang tersebar di kepulauan Indonesia ini. pemerintah hanya mengurusi aset-aset yang dikatakan sebagai kebudayaan nasional dan mempunyai nilai jual tinggi. Pariwisata, musium, musik-musik modern dan lain sebagainnya yang memiliki nilai jual di pasar menjadi pusat perhatian pemerintah. Bandingkan dengan kesenian daerah seperti gamelan, angklung, jatilan, tayub, dan kesenian daerah lainnya, sangat sedikit sekali yang tahu. Kesenian kemudian dikapitalisasikan sehingga mempunyai nilai jual yang menguntungkan.

Dalam kajian Linsay (1995) tidak sedikit kesenian daerah yang menggantungkan hidunya oleh uluran pihak lain. Kondisi ini memposisikan pemerintah sebagai pengayom, pembina, dan penasehat sekaligus penyandang dana berbentuk anggaran rutin melalui Dewan Kesenian Daerah. Selain itu, kasus kebijakan terhadap Reog Ponorogo (Effendy, 1998) memperlihatkan bahwa pelestarian dan pembinaan semata-mata untuk menyesuaikan dengan kebudayaan nasional dan untuk kepentingan pariwisata, bukan untuk kepentingan kesenian itu sendiri maupun komunitas pendukungnya.

Implikasi intervensi Pemerintah dalam penciptaan kebudayaan nasional tidak hanya terbatas pada kerancuan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah, tetapi juga pemasungan kebudayaan daerah. Implikasi kebijakan kebudayaan, kususnya kesenian tidak saja pada tataran afeksi, melainkan juga pada relung kognisi. Pemerintah dengan bertumpu pada pasal 32 UUD 45 terkesan benar-benar ingin menguasai diskursus kesenian dan pola-pola pembinaan.

Kenyataan itu yang kemudian membuat jurang pemisah antara kesenian nasional dan kesenian daerah kian lebar. Kesenian daerah seakan-akan dipasung dan tidak memiliki ruang untuk bergerak dalam kancah nasional. Akibatnya kesenian daerah semakin tidak terurus dan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Selain itu, minat para pemuda Indonesia untuk mengenal dan melestarikan kesenian daerah sangat minim sekali. Kesenian tradisional kemudian mati suri entah kapan akan bangun dan bergeliat kembali.

Jika kita menegok kembali sejarah kebudayaan dan kesenian Indoneisa, rasanya tidak patut kita membedakan antara kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Sebab, semuanya itu adalah murni hasil cipta, rasa, dan karsa nenek moyang kita. Kesenian daerah telah memiliki sejarah perkembangan yang cukup lama. Dari peninggalan-peninggalan pra-sejarah, terbukti telah ada kehidupan yang teratur diberbagai daerah Indonesia. Dan peninggalan-peningaan sejarah menunjukkan bahwa pada awal fajar kurun masehi, telah ada kerajaan-kerajaan yang cukup maju di Jawa Barat dan Kutai (Kalimantan). Dari peninggalan-peninggalan budaya dan ciptaan kesenian yang masih terpelihara sampai sekarang, kita dapat mengatakan bahwa kebudayaan dan kesenian daerah di Indonesia ada yang sudah mencapai taraf tinggi.

Van Peursen (1988) mengatakan bahwa kebudayaan termasuk juga tradisi, dan “tradisi” dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tapi tradisi tersebut bukanlah suatu yang tidak dapat diubah; tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru pada pola-pola kebudayaan yang sudah ada.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk terus menjaga dan mengembangkan kebudayaan serta kesenian daerah. Kita sadar, ada ratusan kesenian daerah yang hampir mati lantaran minimnya minat masyarakat dalam mengelola dan menjaga kesenian daerah. Maka dari itu, membiarkan kesenian daerah mati, sama halnya melukai warisan budaya yang sudah tertanam ratusan tahun lamanya.[Cho/Ntz]
Mati Surinya Kesenian Daerah Kita
4/ 5
Oleh
Load comments