Berdemokrasi Dengan Moralitas

Berdemokrasi Dengan Moralitas

Berdemokrasi Dengan Moralitas
Jumat, 10 Maret 2017
Moralitas adalah elemen penting sebagai tiang penyangga kehidupan yang damai dan berkeadaban. Moraliatas ibarat baju yang kita pakai untuk menutupi butuh kita di dalam ruang sosial. Bayangkan jika kita tidak memakai baju, orang akan mengatakan bahwa kita adalah orang gila. Maka dari itu, moralitas adalah derajat manusia untuk membedakan antara manusia normal dangan hewan maupun orang gila.

Derajat manusia dalam kehidupan sosial bukan ditentukan oleh banyaknya harta kekayaan, pendidikan, atau sebagai pejabat negara, tetapi oleh tingkat moralitas. Bahkan moralitas merupakan harga mati untuk menjamin terciptanya tatanan kehidupan yang beradab. Disinilah bahwa moralitas sebagai baju dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara harus kita pakai setiap saat.

Dalam bernegara, moralitas para penyelenggara negara (pejabat pemerintahan) adalah sebagai modal utama untuk membangun tatanan kenegaraan yang jujur, adil, bersih, makmur dan sejahtera. Rakyat memilih para pejabat adalah dengan moralitas dan rasiolanitas serta pertimbangan yang matang. Tujuannya agar mereka yang dipilih bisa mamperhatikan dan mendengar jeritan rakyat. Kepercayaan adalah modal utama rakyat dalam memilih para pemimpinnya.

Namun, ketika mereka sudah duduk manis di kursi pemerintahan, moralitas kemudian dikesampingkan. Uang kemudian menjadi tujuan yang bisa meruntuhkan moralitas pejabat publik manakala ia tidak mampu mengontrol hasratnya. Sering kali para pemimpin kita terjebak dalam lubang kenikmatan sesaat tanpa berpikir panjang apa akibatnya. Mereka melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme untuk memperkaya diri maupun kelompoknya.

Benar apa yang dikatakan oleh penulis Amerika Serikat kenamaan, James Mac Gregor Burns bahwa tanpa etika, kepemimpinan tereduksi menjadi manajemen dan politik menjadi sekedar teknik memenagkan kekuasaan. Korupsi seakan menjadi gaya hidup yang hampir dilakukan oleh semua pejabat pemerintahan. Pelaku penyimpangan uang negara merupakan target operasi, bahkan sebagai proyek basah yang disekenariokan segelintir pejabat dalam upaya saling mengamankan sehingga seolah-olah masalahnya bersih dan tidak merugikan uang negara.

Semakin jelas bahwa nurani dan moralitas pejabat kita sudah berada pada titik paling minus. Betapa tidak, mereka sebagai pemimpin seharusnya bisa memberikan contoh yang baik kepada bawahan dan rakyatnya. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, mereka mempraktikkan perilaku amoral dan sangat merugikan negara.

Mereka tidak peduli lagi terhadap dampak perbuatan mereka yang merugikan negara, yang berkonsekuensi kepada tak terpenuhi atau tak terlayaninya sebagian hak-hak rakyat. Hukum halal-haram bagi mereka adalah dongeng religius  yang hanya ada di kitab-kitab belaka. Ambruknya moralitas pejabat pemerintahan inilah yang  secara langsung akan meruntuhkan martabat bangsa Indonesia.

Penyangga Demokrasi


Dalam kehidupan demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi oleh undang-undang selama kebabasan itu tidak menganggu orang lain. Disinilah bahwa demokrasi selalu berjalan beriringan dengan moralitas. Sebab,  demokrasi tanpa moralitas yang baik akan berimbas pada demokrasi liberal. Dalam ruang demokrasi, moralitas adalah kesadaran bangsa untuk saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain tanpa harus menyakiti.

Ada kecurigaan publik bahwa selama ini bangsa kita hidup di alam demokrasi tak bertuan. Prinsip kekuasaan ditangan rakyat justru dimanipulasi oleh elite politik yang menyembunyikan kebenaran dari rakyat. Rakyat yang sejatinya tuan dari sistem demokrasi, kini tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri. Suaranya tak pernah didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan keinginannya tak pernah diwujudkan.

Jacques Ranciere dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010) mengatakan, demokrasi adalah sebuah paradoks, di mana pandangan kekuasaan oleh rakyat (demos) justru adalah lukisan muram rakyat yang memiliki kekuasaan, tetapi tak ada yang memberi mereka hak untuk menggunakannya. Demokrasi seakan menjadi proyek politik para elite pejabat pemerintahan dan rakyat adalah sebagai tumbalnya.

Sejatinya kita juga tak menghendaki hadirnya demokrasi beku (frozen democracy) sebagaimana ditengarai George Sorensen dalam buku Democracy and Democratization: Process and Prospect in a Changing World (1993). Demokrasi beku ditandai dengan terpuruknya kondisi ekonomi, terhambatnya pembentukan masyarakat sipil, gagalnya tercipta soliditas di kalangan elite, dan tidak tuntasnya masalah hukum pemerintahan lama.

Para pejabat bertindak dengan logika kekuasaannya sendiri yang secara diametral berbeda dengan dinamika dan kebutuhan rakyatnya. Mereka terlalu ambisius dan serakah untuk mementingkan keinginannya sendiri. Kecenderungan sikap dan sifat serakah seperti itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari harta rakyat dirampas atau dirampok dengan tidak henti-henti dan tak bosan-bosannya.

Praktik demokrasi yang lepas dari moralitas akan berdampak buruk terhadap efektifitas bernegara. Pejabat yang tidak bermoral akan memanfaatkan demokrasi sebagai proyek politik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Dalam sistem demokrasi sudah sepatutnya bangsa ini menjaga moralitas, menampakkan segala yang disembunyikan oleh pemerintah, menyuarakan segala aspirasi rakyat yang dibungkam, dan menjadikan terang segala yang sudah digelapkan. [Nur Kholis Anwar]
Berdemokrasi Dengan Moralitas
4/ 5
Oleh
Load comments